Rabu, 11 Maret 2009

Mukjizat cinta

Bulan September waktu itu, ketika aku begitu dekat dengan wanita itu, wanita bernama Tiwi, pratiwi Zakhrotuni tepatnya. aku juga telah begitu dekat dengan dia, tapi tidak disini, tidak di alam ini tapi di alam mimpi. Oleh karena itu, begitu aku dekat dengan dia maka aku berusaha untuk menyampaikan apa yang aku rasa dan apa yang aku alami di alam itu, tapi terlalu susah untukku mengutarakan semua itu, aku tidak ingin kedekatan ini akan berubah jika aku mengatakannya.

Sudah lama ya, kita tidak melihat bintang-bintang?” kata Tiwi sambil melihat ke arah angkasa. Ke arah langit gelap yang dipenuhi bintang. Menatap bintang-bintang. Juga menatap rembulan.

“Ah, tidak juga,” jawabku santai. “Sudah lama!” “Tidak juga.” Aku perhatikan Tiwi sejak tadi. Ia terus menerus menatap ke arah langit. Menatap bintang-bintang dan bulan. Menikmati keindahan malam. Menikmati keindahan ciptaan Tuhan. “Eh, sudah lama ya kita tidak melihat bintang-bintang?”

tanya Tiwi lagi. Sekali lagi ia bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Tidak juga.” “Kamu ini bagaimana sih?” “Lho apanya?” “Kita kan sudah lama tidak melihat bintang-bintang di langit?”

“Baru enam bulan yang lalu, Tiwi sayang.” “Berarti sudah lama kan?” “Iya deh.” Tiwi terus saja menatap ke arah langit. Mengamati bintang-bintang di langit. Mengamatinya satu persatu. Juga mengamati bulan. Tapi ia lebih suka mengamati bintang-bintang. Terkadang ia suka membawa teropong untuk melihat bintang-bintang. Kami memang selalu ke tempat ini. Sebuah tempat terpencil di luar kota dan di bawah kaki sebuah gunung besar. Aku hanya menemaninya saja. Terus terang saja aku cuma suka melihat bintang-bintang tanpa perlu mengetahuinya,

“Hei, aku mengajak kamu ke sini untuk bersenang-senang!” gerutunya kesal. Tiwi bangkit dan berkacak pinggang. Berpaling ke arahku sambil melotot.

“What?” Aku bertanya-tanya. Masih sambil berbaring. Melihat ke atas. Melihat ke bintang-bintang. Juga menatap rembulan. Ia masih saja berkacak pinggang dan cemberut. Aku langsung memeluknya. “Jangan ngambek dong.” “Hmmm.” Ia tidak menjawabnya, malah tersenyum manja. “Ayo kita lihat bintang lagi.” Kami pun berbaring di rerumputan. Kembali melihat bintang-bintang dan menghitungnya satu-persatu. Menatap keindahan bintang-bintang sambil mengunyah biskuit yang kubawa. Betapa indah dan megahnya ciptaan Allah Semesta Alam.

“Hei, lihat ada bintang jatuh!” ujarnya sambil menunjuk sebuah bintang jatuh. Tingkahnya tentu saja lagi-lagi mengagetkan aku yang masih mengunyah biskuit. Hampir saja aku tersedak. “Hmmm.” “Make your wish!” “Buat apa?” tanyaku dengan heran, dengan mulut penuh biskuit. “Kata orang-orang kalau ada bintang jatuh, make your wish and your wish will come true!” jawabnya bersemangat. “Aku tidak percaya dengan hal-hal seperti itu, aku lebih percaya dengan Tuhan.” “Lho, apa salahnya?” “Baiklah!” Aku berkomat-kamit tidak jelas layaknya seorang dukun. Dan, supaya Tiwi tidak mengetahui apa yang aku inginkan. “Sudah?” tanyanya penuh selidik. Aku cuma tersenyum. “Bolehaku tahu?” cecar Tiwi. “Tidak boleh dong,” jawabku. Masih sambil mengunyah biskuit renyah yang kubawa waktu itu.

Itulah Tiwi wanita bertubuh mungil yang cantik dan selalu riang, selalu penuh dengan cerita-cerita dan terus bersemangat, dan memberiku banyak arti, kata orang aku saat itu hanyalah seorang yang pendiam, dan akupun bukanlah orang yang populer. tetapi tiwi sangat antusias dan ingin dekat dengan ku. Sungguh aku mencintainya.